Industrial Visit Yogya 14 – 16 Agustus 2015

Posted on August 28, 2015 | Oleh : Suherman Widjaja

Tanggal 14 Agustus 2015 jam 3.50 sore saya tiba di Bandara Soeta dari BSD, diluar perkiraan perjalanan lebih cepat 1 jam. Sambil melangkah masuk ruang keberangkatan dalam hati berharap mudah-mudahan sudah ada anggota rombongan yang tiba lebih dulu. Sampai di dalam tengok kanan kiri wah. Gak ketemu satupun yang dikenal. Langsung info keberadaan via WA ke pak Suhartono, sang ketua AMA DKI, yang rupanya terjebak kemacetan di jalan tol menuju Bandara.

“Mas Rifki sudah di terminal 1C sejak jam 3 pak!” demikian reply WA pak Ketua. AHA! Sudah ada teman rupanya tapi koq ga terlihat ya? Dengan kenyamanan fasilitas gratis komunikasi dari WA diketahui keberadaan mas Rifki yang baru mau shalat. Kehadiran Mas Rifki di airport 3 jam dimuka ternyata hasil dari pengalaman ketinggalan pesawat saat liburan Lebaran, hehe..pengalaman pahit membuahkan disiplin tepat waktu. Rupanya saya beruntung sekali hari itu, karena anggota rombongan lain terjebak kemacetan parah di jalan tol. Singkat kata kami bertujuh yaitu pak Hartono, mas Rifki, pak Sopian dan istri, pak Wayan, Adrian, dan saya, akhirnya berangkat sesuai jadwal.

Pesawat mendarat sempurna di bandara Adi Sucipto Yogyakarta pukul 19.30, didepan pintu keluar kami disambut oleh ibu Fransisca Diwati yang biasa dipanggil ibu Sisca, ketua AMA Yogya bersama putrinya Rere. Petualangan pertama di Yogyakarta dimulai dengan kuliner di Ayam Lombok Ijo yang cukup terkenal. Rombongan puas makan ayam goreng dengan sambal yang mantap. Ada kejutan menyenangkan bagi rombongan saat membayar, total bon dibawah perkiraan kami semua Rp. 303.000,- makan kenyang dan enak untuk 8 orang… murah meriah.

IMG-20150826-WA0005Habis makan kami check in ke hotel Green Host, hotel yang unik dan sangat smart menurut saya. Furniture seisi hotel tampaknya terbuat dari limbah, baik kayu eks palet atau peti kemas, maupun plat besi sisa mesin pons. Mulai dari pintu masuk lobby sampai pada kamar tamu, mulai dari meja kursi sampai pada kusen dan daun pintu plus jendela, terbuat dari material limbah. Hal menarik lain adalah foyer setelah lobby yang open air dihiasi tanaman mint dengan konsep hydroponik memberi kesan segar. Secara umum hotel ini menarik, walau ada beberapa bagian khususnya kamar mandi yang terkesan terlalu dipaksakan menghemat. Pintu yang tidak bisa terkunci baik, serta shower screen yang terbatas orang didalamnya sehingga bisa terlihat dari luar. Bagi pasangan Sopian dan istri mungkin ini suasana romantic, tapi untuk pak Wayan vs Adrian atau saya vs mas Rifki alamak…bayangkan sendiri apalah jadinya! Hahaha…

Sabtu pagi setelah sarapan kami dijemput oleh mas Randi sang guide, yang rupanya mahasiswa bu Sisca yang berprofesi sebagai dosen di STIEBBANK, selain Corporate Secretary di Harian Bernas. Tujuan pertama adalah kunjungan ke kantor harian Bernas.

Sekitar 45 menit kemudian sampai di kantor Bernas, kami disambut dengan hangat oleh jajaran pimpinan disana, salah satunya adalah pak Kunto, Pemimpin Redaksi, yang rupanya “alumni” majalah Marketing. Jadi pak Hartono bertemu dengan alumninya disana J. Sekitar 20 menitan obrolan hangat penuh canda datang “pak Bos Besar” yaitu pak Putu Putrayasa, Pemimpin Umum Harian Bernas, yang juga tidak kalah ramahnya dengan sense of humor yang tinggi.

Perkenalan jajaran pimipinan harian Bernaspun diwarnai dengan canda dan joke segar. Beliau sempat juga sharing koleksi joke-nya, yaitu malaikat di akhirat meragukan sejarah tenggelamnya kapal Titanic…jangan-jangan penyebabnya adalah terbakar, sebab yang mengaku Reonaldo di Caprio di pintu akhirat koq “hitam”?! hehehe… kalau mau tau joke lengkapnya nanti akan diceritakan saat pertemuan bulanan AMA DKI mendatang yah!

Obrolan berlangsung lancar, selain beramah tamah pertemuan ini juga sarat dengan penjajakan kemungkinan kerjasama antara harian Bernas dengan AMA DKI, tidak kurang juga penjajakan kerjasama dengan masing-masing kami para anggota secara pribadi maupun institusi. Sungguh pertemuan yang sangat produktif dalam waktu yang terbilang singkat.

Tidak terasa alokasi waktu yang direncanakan sudah terlewat lebih dari 30 menit, sehingga mas Randi terpaksa mengingatkan bahwa kita harus pindah agenda. Setelah berfoto ria beberapa kali akhirnya dengan langkah terasa berat pak Putu dan tim rela melepas kepergian kami (uihh…Ge-eR.com). Oya ada pesan yang kembali disampaikan oleh beliau, ditunggu tulisan artikel untuk dimuat dalam harian Bernas. Ayo silahkan bagi para anggota AMA DKI yang ingin menulis, nanti akan saya fasilitasi mengirimnya ke redaksi.

Agenda kedua dilanjutkan yaitu visit ke Bakpia Pia, tidak terlalu lama kami sampai dilokasi outlet Bakpia Pia yang menempati sebuah ruko. Outlet terlihat agak sepi hanya ada beberapa orang didalamnya. Di kaca etalase tertulis: “Bakpia Pia lebih dari yang asli” memberi kesan bahwa mereka mengakui produknya bukan yang asli, kami bercanda ini bakpia KW.

Dengan penampilan outlet seperti itu menciptakan first impression di benak kami sepertinya tempat ini tidak akan memberi pengalaman menarik. Tapi nanti dulu…berikutnya kami mendapat pembelajaran baru: first impression bisa dirobah dan diupgrade jika dilakukan dengan action yang tepat! Mari ikuti…

Beberapa saat setelah mas Randi masuk kedalam, keluar seorang gadis muda yang memperkenalkan diri bernama Rizna dan mengajak kami untuk melihat rumah produksi. Kami berjalan kaki menyusuri jalan sekitar 10 menit, hingga sampai pada suatu bangunan sederhana yang tampak seperti rumah. Masuk kedalam kembali kami disambut oleh seorang perempuan, kali ini seorang ibu paruh baya yang ramah dengan postur agak kecil rupanya adalah orang tua dari mba Rizna. Kami juga disambut oleh 3 pria muda yang belakangan kami tahu sebagai team produksi dan marketing dari home industry ini.

Mereka mempersilahkan kami masuk bagian produksi sambil menyampaikan untuk mengambil dan mencoba bakpia yang ada didalam. “Ini mixer untuk membuat kulit, itu sedang membuat bakpia coklat” kata ibu Razuna sambil menunjuk beberapa orang pekerja di sebelah kanan. Itu isi coklatnya, sambil menunjuk gundukan berwana coklat tua, “boleh dicoba enak koq”, tukas bu Razuna lagi. Saya dan beberapa kawan meminta secomot isi coklat, hmm legit-gurih-manis …benar enak hehehe…

Pembuatan bakpia ternyata cukup pendek rangkaian proses produksinya. Dimulai dari membuat adonan untuk kulit, sambil parallel membuat adonan isi, kemudian proses mengisi dan sekaligus membentuk bakpia bulat kecil seperti bola dengan diameter +/- 2,5 cm. Ada yang kemudian sedikit ditekan atas dan bawahnya jadi agak gepeng, ada juga yang dibiarkan bulat. Bakpia setengah jadi kemudian dipanggang 2 x 20 menit dengan dibolak balik.

Suatu keberuntungan bagi kami, bersamaan selesai melihat dan bertanya-tanya seputar proses produksi, pemanggangan bakpia cokat dan keju telah selesai. “Silahkan dicoba” ujar mba Rizna. Tanpa menunggu ajakan kedua langsung “tangan-tangan terampil” kami menjulur dengan sigap menjemput sang bakpia yang asli fresh from the oven! Hmm…nyam..nyam… uenak tenan…!

Lepas menikmati bakpia coklat dan keju, kami diajak melihat rumah produksi kedua yang dikhususkan membuat bakpia khas Bakpia Pia. Ternyata mereka mempunyai bayak sekali varian unik yang berbeda dari bakpia Yogyakarta pada umumnya. Ada isi blueberry, duren, abon, tuna, dan lain sebagainya, total sebanyak 25 varian…wow!

Rumah produksi kedua ternyata hanya selemparan batu, tiba disana kembali kami disuguhkan berbagai varian unik yang merupakan unggulan Bakpia Pia. Minumanpun tidak luput disuguhkan oleh mba Rizna …Pokoke kenyang, dan puas.

Selesai melihat proses produksi kami kembali ke outlet awal, mas Rifki menceritakan rasa salutnya atas ibu Razuna yang sangat mahfum tentang dunia advertising, termasuk ajang Pinastika Award yang diadakan tahunan atas kegiatan seputar advertising. Kami berdua salut dengan service excellent yang diterapkan oleh pemilik Bakpia Pia. Hal ini juga rupanya dirasakan oleh yang lain, First impression yang ada dibenak kami semua sebelumnya telah pupus tergantikan dengan kekaguman atas profesionalisme yang sangat jelas terlihat dan terasa selama melihat production tour mereka.

Kehebatan lain yang mas Rifki dan saya temukan adalah berderetnya piala Pinastika Award yang didapat oleh Bakpia Pia. Ini adalah home industry yang terlihat belum besar namun memiliki visi dan profesionalisme yang tinggi.

Setelah kami berbelanja untuk oleh-oleh dirumah, kunjungan ditutup dengan berfoto ria bersama. Asyik masyuk mendengar cerita bakpia sambil menikmati berbagai varian baru membuat jadwal kedodoran ga karuan. Sepertinya guide ga tega mengingatkan sudah kebablasan waktunya hik..hik..hik

Perjalan akhirnya dilanjutkan mengunjungi pabrik coklat Monggo. Pabrik coklat yang terletak didalam gang dimiliki oleh seorang pria Belgia yang tergerak untuk membuat coklat karena tidak menemukan coklat yang enak di Yogya.

Mau tahu merek “Monggo” asal muasalnya dari mana? Rupanya didapat secara tidak sengaja saat sang kedua pemilik (join dengan seorang penduduk Yogyakarta) sedang galau karena usulan nama merek pertamanya ditolak oleh Ditjen Merek. Kala itu mereka sedang duduk mencangkung dihalaman rumah, kemudian lewat seorang nenek, dengan budaya Jawa yang sopan mengatakan “monggo” sambil menumpang lewat. Dari situlah akhirnya muncu ide untuk menggunakan nama “Monggo” sebagai merek. Demikian dikisahkan oleh seorang karyawannya kepada kami.

Pabrik coklat ini rupanya tidak membuat sendiri dari bahan baku mentah, mereka hanya melelehkan batangan block coklat lalu mencetaknya sesuai ragam ukuran loyang. Keunikan dari produknya adalah penggunaan rempah-rempah Jawa sebagai varian rasa, seperti jahe, dan cabai, selain rasa buah seperti coklat batang pada umumnya.

Trip dilanjutkan dengan makan siang di resto Sekar Kedaton yang merupakan rumah tua terawat dengan arsitektur Jawa yang indah. Laksana ningrat saat makan disana dengan menu jawa yang lumayan enak. Ada satu hal yang menarik menjadi catatan perjalanan ini adalah saat mas Sopian, pak Hartono, dan Adrian memesan 2 es teh tawar plus 1 es teh manis. Minuman ini diluar paket makan siang kami yang hanya mendapatkan air putih. Saat membayar bon tagihan tertera harganya yang tidak terlupakan oleh mereka bertiga yaitu Rp.78 ribu ! hahaha ini adalah surprise kedua makan di kota Yogya malam pertama kaget makan murah, sekarang kaget minum muahall banget…layaknya di hotel bintang 5 ++ …hehehe

Tujuan berikut menuju “Timbul” toko kerajinan patung dan sejenisnya di Kasongan, perjalanan cukup panjang memakan waktu lebih dari 1 jam. Perut yang kenyang dan semilir AC mobil membawa kami semua ke “alam mimpi” sampai tiba di parkiran Timbul. Asyik melihat-lihat produk disana yang relatif murah untuk ukuran harga toko di Jakarta ditutup dengan menikmati sruputan kopi di kantin.

Disela sruputan kopi, kami sepakati perjalanan dilanjutkan ke jalan malioboro, destinasi khas kota Yogyakarta. Malioboro dengan segala keunikan pernak-pernik pedagang kaki lima kami nikmati diakhiri dengan rame-rame ngeborong sepeda, becak , dan skuter…beneran kendaraan tersebut kami beli. Tapi miniaturnya hehe.

Lepas ngeborong si mini di Malioboro, hari sudah mulai gelap akh…tiba saatnya mengisi perut lagi. Kali ini mas Randi mengajak kami kulineran mencoba angkringan yogya bingit aha..! Angkringan ini terletak didalam gang, menempati rumah yang besar sekali di dalam lingkungan “dalem” keraton.

Tarif makanan disini lumayan murah untuk ukuran penduduk Jakarta, untuk all you can eat dipatok Rp. 55 ribu/kepala. Ragam makanannya banyak semua disajikan di atas meja panjang, seperti rumah makan Sunda. Tinggal pilih semuanya khas Jawa… sikaat masbroo..! Jangan lupa minuman khasnya yang hangat menyegarkan.. minuman yang sarat dengan berbagai rempah-rempah seperti jahe, gula jawa, sereh, cengkeh. Hmmm…srrllp…dijamin greng, bablas angine! Apa nama minumannya rada-rada unik gitu …saya lupa, kalo penasaran silahkan cekidot ke mas RIfki atau pak Wayan yang ikut nyoba minuman tersebut, termasuk pak Ketua kita kalau ga salah.

Kelar makan lanjut advonturir “masangin” yaitu ritual di alun-alun Barat Keraton Yogya. Ritual ini berupa tantangan berjalan lurus , dengan mata ditutup sejauh lebih kurang dua puluh lima meter dengan target bisa melewati jalan diantara dua pohon beringin tua. Jarak dua beringin tua itu sendiri sebenarnya cukup lebar, sekitar 8 meteran. Jika berhasil lolos diantara dua beringin dipercaya keinginan orang tersebut akan terkabul.

Melihat kondisi lapangan sepertinya tantangan ini mudah ditaklukan, tapi ternyata hmm… tiga dari kami berenam yang mencoba tidak berhasil…gatot…gagal total! Bahkan ada yang hatrick, 3 kali gagal berturut-turut. Permainan sederhana yang sangat menarik dan menantang banyak orang. Alun-alun sangat meriah, banyak sekali orang yang menikmati udara segar Yogya diwaktu malam.

Rencana hanya mencoba masangin sebentar, akhirnya membuat kami lupa dengan waktu. Atau lebih tepatnya kami belagak lupa hahaha… Disana kami semua menjadi anak-anak lagi seperti Doraemon, dipicu oleh Aliong yang membeli kitiran/helicopter tradisional yang diberi lampu led serta kertas spotlight warna-warni. Semua ikut bermain, tidak satupun dari kami bertujuh yang tidak bermain kitiran tersebut.

Malam itu kami akhiri sampai jam 11 malam, setelah masing-masing membeli kitiran untuk oleh-oleh dirumah. Benar-benar menyenangkan bermain bersama dan kembali lagi menjadi anak kecil yang lepas bebas. Ayo kita ulang lagi bersama dengan seluruh anggota AMA..yuk??!! saya sudah punya spot yang asyik di BSD, siapa mau join?

Pagi hari ketiga, setelah makan pagi kami check out dan menuju Museum Gunung Merapi. Perjalanan kesana kurang dari sejam, sampai di tujuan sudah menunggu bu Sisca. Hop hop hop langsung siap-siap untuk off road dengan pemanasan agar badan tidak pegal-pegal karena jalan yang rusak akibat bekas erupsi Merapi.

Setelah sedikit bermain games kemudian kami semua dipersilahkan memilih jip Willys antik buatan tahun 46an. Kami menyewa 3 jip untuk ditumpangi. Perjalanan off road dimulai dengan asyik dan penuh petualangan. Stop pertama adalah menara pandang, yang anehnya tidak begitu tinggi. Berupa bangunan dua lantai, disini kami diajak main games dengan ilustrasi melalui lahar panas. Gamesnya terhitung sangat simple, jujur tidak sesuai dengan namanya yang “seram” tapi okelah…tokh kita mau senang-senang.

Stop kedua kami di museum mini, berupa sisa rumah penduduk korban erupsi berisi sisa barang-barang rumah tangga, sepeda motor, dan rangka ternak yang tersapu lahar panas. Miris rasanya melihat barang-barang tersebut sambil membayangkan kondisi saat erupsi. Alam memang luar biasa, saat dia bergerak tiada satu kekuatanpun di bumi ini yang bisa menghadangnya. Disini kita bisa merenung bahwa kita ini sama sekali tidak berarti apa-apa dibanding kekuatan alam dan Penciptanya. Kita perlu bersyukur dengan kondisi kita semua saat ini yang tidak kurang suatu apapun. Bahkan jauh berlebih dibanding saudara-saudara kita korban erupsi Merapi.

Off road dilanjutkan menuju bunker, tempat perlindungan warga saat erupsi. Bunker adalah saksi bisu betapa hebatnya muntahan Merapi saat itu. Disana sempat terkurung puluhan warga yang mencoba berlindung, namun akhirnya tewas karena terpanggang oleh hawa panasnya lahar diluar bunker. Bayangkan saat itu buner bagaikan oven besar yang dikurung oleh lidah api.

Namun sayangnya, tempat bersejarah tersebut tidak dirawat dengan baik. Demikian juga informasi sangat minim tersedia. Terenyuh rasanya dengan kondisi seperti ini, kebiasaan kita yang hampir serupa disemua tempat di Indonesia yang tidak menyadari asset sangat berharga yang bisa menjadi pembelajaran dalam menghadapi bencana alam. Atau dari sisi bisnis, ini adalah tourist attraction tiada duanya diseluruh dunia. Gunung Merapi cuma 1 didunia bukan? Dan merupakan erupsi vulkanik yang paling fresh sepertinya, semoga pemerintah menyadari itu dan segera bertindak untuk mengamankan dan menjaganya.

Selesai melihat bunker, kami melukis caping, yang rupanya merupakan treasure dari games “Treasure Hunt”. Awalnya ekspektasi saya adalah tantangan yang lebih dari itu hehe…siapa suruh penuh harap hahaha… Sekarang kembali ke tempat awal perjalanan, nah disini saya mendapat petualangan yang asli off road. Rupanya bu Sisca dan pak Hartono sudah merencanakan untuk membuat saya basah kena cipratan air kali Kuning yang dilabrak oleh jip Willys. Ini baru off road, akhirnyadapt juga petualangn yang dtunggu. Terima kasih pak supir dan bu SIsca, sang sutradara, asyiikk bingitz lho!

Siang itu kami makan di rumah makan milik pengurus AMA Yogya, suasana dan makanannya dibuat dengan atmosfer masakan rumahan Yogyakarta. Cukup menarik, dengan nuansa yang berbeda. Disana kami berpisah dengan bu Sisca, karena kami langsung menuju ke airport dengan sebelumnya mampir ke MIrota untuk membeli oleh-oleh.

Sampai di airport kami makan malam dulu karena pesawat take off jam 20.20, biar tidak terjadi pemberontakan missal oleh penghuni perut hehe. Penerbangan pulang berjalan lancar, dan kami tiba di bandara Soeta dengan selamat.

Perjalanan yang menyenangkan dengan kenangan tidak terlupakan, serta mendapat teman-teman baru yang baik. Industrial Visit AMA DKI to Yogya yang sukses!